MELIRIK SITUS PERCANDIAN MUARAJAMBI DI
KABUPATEN MUARO JAMBI
Perspektif Sejarah Masa Lalu, Kini, dan
Sekarang
Pulau Sumatra telah memiliki sejarah peradaban yang cukup
panjang. Data tertulis yang sampai kepada kita, terhitung sejak abad ke-7
Masehi telah ada institusi kerajaan yang bernama Mo-lo-yeu atau Mālayu dan
Śrīwijaya. Kedua kerajaan ini hidup pada waktu yang bersamaan, namun sepanjang
sejarahnya saling mendominasi. Pada akhirnya yang eksistensinya lebih lama
adalah kerajaan Mālayu. Sebagai sebuah pulau yang telah memiliki sejarah
peradaban yang cukup panjang, tentu saja banyak meninggalkan jejak peradaban.
Salah satu jejak peradaban adalah tinggalan bangunan-bangunan keagamaan yang
dikenal dengan nama candi, stūpa,
atau biaro. Dilihat dari
kuantitasnya, tinggalan budaya yang berupa bangunan keagamaan tidak kalah
dengan yang ada di Jawa. Namun jika dilihat dari kualitas dan gaya seninya,
masih jauh berada di bawah Jawa. Lepas dari sudut pandang tersebut, tinggalan
budaya tersebut sama pentingnya bagi penyusunan sejarah kebudayaan.
Masing-masing wilayah mempunyai kelebihan atau keistimewaan tersendiri.
Beberapa tempat di Sumatra yang mengandung tinggalan
budaya berupa kompleks percandian, antara lain Bumiayu, Muara Jambi, Padangroco,
Pulau Sawah, Tanjung Medan, Muara Takus, dan Padanglawas. Ada juga
bangunan-bangunan yang berdiri sendiri tidak dalam satu kompleks percandian,
misalnya Candi Jepara, Candi Lesungbatu, Candi Bukik Awang Maombiak, dan Candi
Sintong. Seluruh bangunan yang dibuat dari bahan bata tersebut belum banyak
dikenal masyarakat. Hanya kalangan tertentu saja, seperti arkeolog dan
sejarahwan dalam dan luar negeri yang mengenalnya. Atau masyarakat di sekitar
bangunan tersebut berada yang mengenalnya.Situs Percandian Muara Jambi oleh
beberapa pakar arkeologi dan sejarah dihubungan dengan kerajaan Mālayu dan
Śrīwijaya. Dugaan tersebut dapat saja dikemukakan karena beberapa sumber
tertulis mengindikasikan ke arah itu. Karena itulah secara teoritis (teori yang
dibangun berdasarkan sumber-sumber tertulis), Hasan Djafar membagi kehidupan
Kerajaan Mālayu dalam tiga fase kehidupan, yaitu: