MELIRIK SITUS PERCANDIAN MUARAJAMBI DI
KABUPATEN MUARO JAMBI
Perspektif Sejarah Masa Lalu, Kini, dan
Sekarang
Pulau Sumatra telah memiliki sejarah peradaban yang cukup
panjang. Data tertulis yang sampai kepada kita, terhitung sejak abad ke-7
Masehi telah ada institusi kerajaan yang bernama Mo-lo-yeu atau Mālayu dan
Śrīwijaya. Kedua kerajaan ini hidup pada waktu yang bersamaan, namun sepanjang
sejarahnya saling mendominasi. Pada akhirnya yang eksistensinya lebih lama
adalah kerajaan Mālayu. Sebagai sebuah pulau yang telah memiliki sejarah
peradaban yang cukup panjang, tentu saja banyak meninggalkan jejak peradaban.
Salah satu jejak peradaban adalah tinggalan bangunan-bangunan keagamaan yang
dikenal dengan nama candi, stūpa,
atau biaro. Dilihat dari
kuantitasnya, tinggalan budaya yang berupa bangunan keagamaan tidak kalah
dengan yang ada di Jawa. Namun jika dilihat dari kualitas dan gaya seninya,
masih jauh berada di bawah Jawa. Lepas dari sudut pandang tersebut, tinggalan
budaya tersebut sama pentingnya bagi penyusunan sejarah kebudayaan.
Masing-masing wilayah mempunyai kelebihan atau keistimewaan tersendiri.
Beberapa tempat di Sumatra yang mengandung tinggalan
budaya berupa kompleks percandian, antara lain Bumiayu, Muara Jambi, Padangroco,
Pulau Sawah, Tanjung Medan, Muara Takus, dan Padanglawas. Ada juga
bangunan-bangunan yang berdiri sendiri tidak dalam satu kompleks percandian,
misalnya Candi Jepara, Candi Lesungbatu, Candi Bukik Awang Maombiak, dan Candi
Sintong. Seluruh bangunan yang dibuat dari bahan bata tersebut belum banyak
dikenal masyarakat. Hanya kalangan tertentu saja, seperti arkeolog dan
sejarahwan dalam dan luar negeri yang mengenalnya. Atau masyarakat di sekitar
bangunan tersebut berada yang mengenalnya.Situs Percandian Muara Jambi oleh
beberapa pakar arkeologi dan sejarah dihubungan dengan kerajaan Mālayu dan
Śrīwijaya. Dugaan tersebut dapat saja dikemukakan karena beberapa sumber
tertulis mengindikasikan ke arah itu. Karena itulah secara teoritis (teori yang
dibangun berdasarkan sumber-sumber tertulis), Hasan Djafar membagi kehidupan
Kerajaan Mālayu dalam tiga fase kehidupan, yaitu:
Fase I
|
Fase Awal, sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi;
|
Fase II
|
Fase Pendudukan oleh
Śrīwijaya, sekitar tahun 680 sampai sekitar pertengahan abad ke-11 Masehi;
|
Fase III
|
Fase Akhir, sekitar
pertengahan abad ke-11 sampai sekitar akhir abad ke-14 Masehi.
|
Ketiga fase tersebut mengacu kepada perjalanan
sejarah Kerajaan Mālayu Kuna, tetapi tidak menjelaskan lokasi pusat pemerintahannya.
Beberapa pakar berpendapat bahwa pusat Mālayu pada Fase Awal berlokasi di
sekitar Kota Jambi sekarang. Pendapat ini didasarkan atas asumsi bahwa pusat
kerajaan adalah juga merupakan pelabuhan Mālayu. Pelabuhan Mālayu yang
lokasinya di tepi Batanghari sangat baik untuk pelabuhan sungai. Sungai
Batanghari yang panjangnya sekitar 800 km, lebarnya sekitar 500 meter dan kedalamannya
lebih dari 5 meter cukup baik untuk pelayaran sungai. Panjang sungai dapat
dilayari perahu atau kapal besar adalah sekitar 600 km. Selebihnya hanya dapat
dilayari perahu kecil. Situs Muara Jambi dalam konteks sejarah Kerajaan Mālayu
dan Śrīwijaya eksistensinya berada pada kurun waktu abad ke-7-14 Masehi. Hal
ini berdasarkan data pertulisan singkat dan gaya seni arca yang ditemukan dari
Situs Muarajambi dan data arkeologi dari
situs lain yang lokasinya ada di sekitar Batanghari.
1. Lokasi dan Lingkungan
Situs
Muara Jambi secara administratif terletak di Desa Muara Jambi, Kecamatan
Marosebo, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi, dan secara astronomis terletak
pada koordinat 103º41'15" BT dan 1º28'31" LS. Untuk mencapai lokasi
situs dapat dipakai kendaraan bermotor roda empat melalui Desa Kasang dan
berhenti tepat di seberang sisi timur Batanghari, di muka Desa Muara Jambi.
Dari tempat ini perjalanan kemudiandilanjutkan dengan perahu tradisional yang
khusun dipakai menyeberangi Batanghari
menuju ke Desa Muarajambi begitu juga sebaliknya. Kalau mau langsung dengan jalan
darat dapat melalui Sengeti setelah melalui jembatan yang menyeberangi
Batanghari. Jalan lain dapat ditempuh selama dua jam perjalanan dengan
menggunakan perahu motor tempel atau selama setengah jam perjalanan dengan speed-boat, dari Kota Jambi melayari
Batanghari menuju ke hilir.
Situs
Muara Jambi yang ketinggiannya sekitar 14 meter d.p.l terletak di suatu daerah
dataran yang merupakan daerah tanggul alam dari Sungai Batanghari. Di sebelah
utara terdapat rawa-rawa yang ketinggiannya sekitar 10 meter d.p.l. dan di
sebelah selatan dan timur terdapat
Sungai Batanghari. Di beberapa tempat masih terdapat daerah yang rendah dan
merupakan daerah rawa. Di sekeliling bangunan terdapat tanah yang rendah
merupakan parit keliling halaman bangunan candi.
Selain
Sungai Batanghari, Situs Muara Jambi dikelilingi oleh sungai buatan (kanal
kuno) dan sungai alam membentuk sebuah
jaringan antara lokasi percandian yang satu dengan yang lainnya. Kanal-kanal
dan sungai alam ini antara lain Sungai Melayu, Sungai Jambi, Parit Johor, Parit
Sekapung, Parit Buluh, Parit Selat, Sungai Medak, Sungai Terusan, Sungai Seno,
dan Sungai Amburan Jalo. Disamping itu tidak jauh dari lokasi Kompleks Candi
Astano terdapat Danau Kelari yang berhubungan dengan Sungai Jambi. Ciri kanal buatan tampak dari potongan garis
lurus aliran air dan kedua sisi tebing aliran air berupa gundukan tanah
memanjang bekas tanah galian kanal.
2. Riwayat
Penemuan Situs Muara Jambi
Perhatian
terhadap antiquiti yang terdapat di Muara Jambi sudah dimulai sejak tahun 1820
oleh Kapten S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris. kemudian
oleh Adam tahun 1920. Melihat tinggalan di Muara Jambi, ia menyimpulkan bahwa
Muara Jambi merupakan sebuah ibu kota dengan bangunan-bangunan yang dibuat dari
bata/batu. Dugaan Adam ini disetujui oleh oleh Schnitger yang berkunjung pada
tahun 1936. Setelah lama tidak diteliti, pada tahun 1954 sebuah tim dari Dinas
Purbakala meninjau lokasi Situs dan mendata kembali apa yang telah dilaporkan
oleh Schnitger. Pada tahun 1975 sampai sekarang Direktorat Perlindungan dan
Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala melakukan pemugaran pada Candi
Tinggi, Gumpung, Astano, dan Kembarbatu. Sementara itu, Pusat Penelitian
arkeologi Nasional sejak tahun 1978 hingga sekarang (diteruskan oleh Balai
Arkeologi Palembang) secara periodik masih melakukan penelitian arkeologi di
situs percandian Muara Jambi. Beberapa penelitian yang dilakukan berhasil
menemukan indikator permukiman di luar halaman percandian, tetapi permukiman
ini merupakan permukiman sementara yang ditinggali oleh para penziarah.
Situs
Percandian Muara Jambi mempunyai luas sekitar 2062 Ha. Hingga waktu ini, di
kawasan situs terdapat sekurang-kurangnya 33 buah runtuhan bangunan bata. Sebagian
dari bangunan-bangunan bata tersebut mengelompok di suatu tempat yang
dikelilingi tembok pagar keliling, misalnya Candi Teluk (di seberang selatan
Sungai Batanghari), Kembarbatu, Gedong, Gumpung, Tinggi, Kota Mahligai, dan
Kedaton; dan sebagian lagi merupakan suatu bangunan tersendiri yang letaknya
terpisah-pisah, misalnya Candi Astano, Manapo Melayu, dan beberapa manapo
kecil lainnya.
Permukaan
tanah halaman kelompok percandian biasanya lebih tinggi sekitar 1 meter dari
permukaan tanah di luar tembok dan parit keliling. Tanah untuk meninggikan
halaman diambil dari hasil galian parit keliling. Di beberapa tempat permukaan
tanah halaman diperkeras atau dilapisi dengan lantai bata, misalnya pada
Candi Tinggi, Candi Kembarbatu, dan Candi Teluk. Selain bangunan-bangunan candi, di Situs Muara
Jambi ditemukan juga sisa permukiman dengan indikatornya pecahan-pecahan
keramik dan tembikar, serta barang-barang untuk keperluan sehari-hari. Petunjuk
ini ditemukan di tebing-tebing sungai Batanghari dan di sekitar kelompok
bangunan candi di luar tembok pagar keliling. Berdasarkan pertanggalan keramiknya
permukiman di Muara Jambi diduga berasal dari abad ke-7-13 Masehi.
Dari Situs Muara Jambi ada indikator
pertanggalan situs, yaitu dari pertulisan singkat yang ditemukan di runtuhan
Candi Gumpung, pertulisan pada gong perunggu dalam aksara Tionghoa, fragmen
arca Buddha, arca Prajñapāramitā dari
Candi Gumpung, dan pecahan keramik. Semua bukti-bukti pertanggalan tersebut
dikaitkan dengan temuan di sekitarnya atau beberapa di antaranya masih dalam
konteksnya. Pertulisan singkat yang digoreskan pada kertas emas ditemukan pada
lubang peripih bangunan Candi Gumpung, sedangkan arca Prajñapāramitā ditemukan di bagian depan runtuhan bangunan Candi
Gumpung.
3. Tinggalan Arkeologi
3.1. Pertulisan
Pada
waktu dilakukan pembongkaran terhadap bagian dasar bangunan pertama Candi Gumpung, di bagian tengahnya
ditemukan 13 buah lubang yang berdenah bujursangkar. Lubang yang terbesar
terletak di tengah, lubang yang sedang empat buah terletak di tepi lubang yang
terbesar, dan lubang yang terkecil delapan buah terletak di luar dari lubang
yang sedang. Dari 13 lubang tersebut, tujuh buah lubang di dalamnya ditemukan
barang-barang berupa lempengan/kertas
emas. batu mulia, lempengan/kertas emas bertulisan dengan aksara Jawa Kuna, dan
cepuk emas, enam lubang telah kosong. Konstelasi lubang-lubang ini menuruti
delapan penjuru mata angin. Boechari dalam laporannya berusaha untuk mengetahui
pertanggalan Candi Gumpung melalui paleografi yang pada prasasti-prasasti emas
tersebut. Tulisan-tulisan pada prasasti diduga berasal dari pertengahan abad
ke-9 sampai permulaan abad ke-10 Masehi. Indikator ini dapat diketahui dari
ciri umum bentuk huruf, antara lain kecenderungan bentuk bulat dan adanya
kuncir pada huruf-huruf tertentu.
Tinggalan
budaya zaman lampau lain ditemukan di halaman kelompok candi Kembarbatu berupa
sebuah gong perunggu, pecahan-pecahan keramik, manik-manik kaca dan batu, dan bata ber-hias. Gong
peru-nggu yang dite-mukan beruku-ran sekitar 25 cm. Di bagian sisinya terdapat
tulisan yang ditulis dalam aksara dan bahasa Tionghoa. Pada tulisan ini
tercantum angka tahun 1231 Masehi. Angka tahun yang tergores pada gong sesuai
dengan pertanggalan pecahan keramik yang berasal dari zaman dinasti Song abad
ke-10-12 Masehi.
3.2 Artefak
Artefak
yang ditemukan di Situs Percandian Muarajambi cukup banyak seperti keramik,
tembikar, artefak dari bahan perunggu, dan artefak lainnya. Dua artefak
diantaranya arca Prajnaparamita dan Dwarapala. Artefak tersebut tersimpan di
Gedung Koleksi Situs Percandian Muarajambi dan sebagian ada di Museum Negeri
Jambi, bahkan ada yang tersimpan di museum di Kota Palembang yang dibawa pada
masa pemerintah Kolonial Belanda.
3.3. Bangunan Candi
Situs Muarajambi dapat dikatakan
merupa-kan situs percandian, hampir seluruh kawasan sepan-jang 7,5 km dipenuhi
gugusan percandian dari timur sampai barat, meskipun pada beberapa bagianjuga
ditemukan sisa pemukiman dan kolam kuno. Sampai sekarang sedikitnya telah
ditemukan 82 menapo (gundukan tanah reruntuhan bata) sebagian besar
diidentifikasikan sisa bangunan candi. Kompleks percandian tersebut antaera
lain, Kompleks Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Astano, Candi
Kembar Batu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Kedaton, Candi Koto
Mahligai, selebihnya masih dalam bentuk reruntuhan (menapo).
3.4. Sisa Pemukiman Kuno
Sisa
pemukiman kuno juga banyak ditemukan di kawasan Situs Muarajambi, identifikasi
secara umum pada permukaannya banyak ditemukan pecahan keramik asing, tembikar,
mata uang, dan bahkan perhiasan seperti cincin. Belum banyak penelitian
arkeologi berkenaan dengan pemukiman kuno di Situs Muarajambi, namun dapat
dikenali dari bentuk lahan yang sudah di tata sedemikian rupa sesuai dengan
lingkungan situs yang berupa rawa-rawa dan daerah aliran Sungai Batanghari.
Tata lahan bekas pemukiman kuno terdapat di tepian Sungai Batanghari dicirikan
dengan lapisan budaya yang berbentuk garis memanjang berisi pecahan keramik,
arang, bata, gerabah, dan artefak lain. Sedang sisa pemukiman yang di dalam
dataran berbentuk lahan yang rata, dilelilingi parit keliling dan sebagian
terhubung dengan kanal-kanal kuno yang mengelilingi Situs Muarajambi. Meski
telah berabad-abad ditinggalkan namun bekas-bekas adanya parit masih tergambar
jelas dan pada permukaan tanahpun masih dijumpai pecahan-pecahan keramik.
3.5. Kanal Kuno
Kanal
kuno atau sungai buatan ini merupakan bagian dari tinggalan arkeologi di Situs
Muarajambi. Kanal dan sungai alam pada masa lalu telah dirancang sedemikian
rupa membentuk jaringan tata guna air yang saling berpoto-ngan, baik yang
men-gelilingi Situs Muara-jambi maupun yang menghubungkan an-ara lokasi gugusan
candi yang satu dengan yang lain. Kanal
kuno tersebut antara lain, Sungai Jambi, Sungai Melayu, Parit Sekapung,
Parit Johor, Sungai Buluran Dalam, serta sungai alam; Sungai Terusan dan Sungai
Seno.
4.
Interpretasi Kesejarahan
Wilayah Kerajaan Mālayu
Kuna secara geografis terletak di sekitar daerah aliran Sungai Batanghari yang
meliputi Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatra Barat; di sekitar Kabupaten Tanah
Datar (Pagarruyung); dan di sekitar daerah aliran sungai Rokan, Kampar, dan
Indragiri di wilayah Provinsi Sumatra Barat dan Provinsi Riau. Di beberapa
tempat, di tepian sungai Batanghari banyak ditemukan situs arkeologi, mulai
dari daerah hilir (di wilayah Provinsi Jambi) hingga daerah hulu (di wilayah
Provinsi Sumatra Barat), antara lain Muara Sabak, Koto Kandis, Situs di daerah
pertemuan Sungai Batanghari dan Sungai Kumpeh (Ujung Plancu, Suakkandis, dan
Sematang Pundung), Muara Jambi, dan Solok Sipin (Jambi) di wilayah Provinsi
Jambi; dan Situs Padanglawas, Rambahan, Pulau Sawah, Bukik Awang Maombiak, dan
Padangroco di wilayah Provinsi Sumatra Barat.
Berdasarkan identifikasi unsur pertanggalan yang
diperoleh dari paleografi tulisan-tulisan singkat pada lempeng emas di Candi
Gumpung, tulisan singkat pada batu pipisan dari Koto Kandis, tulisan
singkat pada arca makara dari Solok
Sipin, dan pecahan keramik menunjukkan pertanggalan sekitar abad ke-8--11
Masehi. Unsur pertanggalan situs tersebut terletak di daerah hilir Batanghari.
Unsur pertanggalan yang lebih muda ditemukan di situs-situs di hulu Batanghari
berasal dari sekitar abad ke-13-14 Masehi. Unsur pertanggalan ini diperoleh
pada Prasasti Dharmaśraya dari Padangroco yang menunjukkan angka tahun 1286
Masehi, Prasasti Amoghapāśa dari
Rambahan menunjukkan angka tahun 1347 Masehi, dan pecahan keramik dari situs
Rambahan, Pulau Sawah, Siguntur, dan Padangroco menunjukkan pertanggalan abad
ke-13-14 Masehi.
Pertanggalan situs
tersebut menunjukkan kepada kita bahwa di daerah Batanghari pada Masa Klasik
Indonesia telah terdjadi pergeseran permukiman. Permukiman yang tua berlokasi
di daerah hilir Batanghari, sedangkan permukiman yang muda berlokasi di daerah
hulu Batanghari di wilayah Sumatra Barat. Dalam sejarah Batanghari, di wilayah
ini pernah ada dua kerajaan besar yang berpengaruh di belahan barat Nusantara.
Kedua kerajaan itu adalah Mālayu dan Śrīwijaya yang tumbuh dan berkembang pada
waktu yang bersamaan. Dari Berita Tionghoa yang ditulis oleh I-tsing disebutkan
bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Mālayu
pernah menjadi bagian dari Śrīwijaya. Setelah Śrīwijaya melemah, Mālayu
kemudian merdeka kembali.
Di dalam kitab Sejarah Dinasti T'ang
(abad 7-10 Masehi), untuk pertama kalinya disebutkan datangnya utusan dari
negeri Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun
644-645 Masehi. Toponim Mo-lo-yeu
dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang
letaknya di pantai timur Pulau Sumatra, dan pusatnya di sekitar Jambi.
Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681
Masehi) disebut nama negeri Zābag
sebagai bandar lada terbesar di Sumatra bagian selatan. Toponim Zābag dapat diidentifikasikan dengan
(Muara) Sabak, di daerah muara Sungai Batanghari.
Pada tahun 672 Masehi, dalam perjalanannya dari
Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih
(=Śrīwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata-bahasa bahasa Sansekerta sebelum
melanjutkan pelayarannya ke Chieh-cha
(Kedah) dan menuju Nālanda (India). Dari Shih-li-fo-shih kemudian ia
singgah di Mo-lo-yeu selama dua
bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Selanjutnya, I-tsing
menuliskan bahwa sekembalinya dari Nālanda, pada tahun 685 Masehi ia singgah
di Mo-lo-yeu yang sekarang menjadi Fo-she-to. Oleh karena I-tsing
meninggalkan Nālanda pada tahun 685 Masehi, pendudukan Mālayu oleh Śrīwijaya
berlangsung antara tahun 671 Masehi, ketika ia meninggalkan Śrīwijaya dan
tahun 688/689 Masehi ketika ia datang lagi ke Śrīwijaya. Berita I-tsing
tersebut sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang ditemukan di tepi Sungai
Merangin, anak Batanghari di daerah hulu, menyebutkan tentang persumpahan bagi
yang tidak mau tunduk kepada Kadātuan Śrīwijaya. Kedua data ini
menginformasikan kepada kita bahwa pada waktu itu Mālayu telah ditaklukan dan
diduduki oleh Śrīwijaya sampai sekitar abad ke-13 Masehi. Pendudukan Śrīwijaya
atas Mālayu dianggap penting karena dengan menduduki Mālayu, Śrīwijaya dapat
menguasai bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka. Hal yang sama
dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Kota Kapur (Bangka), Bhumī Jāwa,
serta Palas dan Jabung (Lampung). Dengan menduduki daerah-daerah ini Śrīwijaya
tidak perlu memindahkan ibukotanya yang ada di Palembang.
Di dalam sebuah Berita Tionghoa disebutkan
bahwa pada tahun 853 dan tahun 871 Masehi, Chan-pi
mengirim misi dagang ke Tiongkok. Dalam catatan Ling piao lu i yang ditulis dalam tahun 889-904 Masehi, disebutkan Pi-chan (Chan-pi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya
seperti bulan sabit. Orang-orang Hu
mengumpulkannya dan diberikan kepada pegawai Tiongkok sebagai curiosities. Menurut Wolters, toponim Chan-pi atau Pi-chan dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti
Song (960-1279 Masehi) menyebutkan sebuah kerajaan di Sumatra yang bernama San-fo-t'si. Diuraikan bahwa kerajaan
itu terletak di Laut Selatan di antara Chen-la
(=Kamboja) dan She-po (=Jawa).
Ibukota kerajaan di mana raja bersemayam terletak di Chan-pi. Rakyatnya berdiam di rakit-rakit yang ditambatkan di
tepian sungai, sedangkan para pembesar kerajaan berdiam di daratan. Atap rumah
tinggal di rakit-rakit dibuat dari ilalang.
Kita mempunyai dua nama untuk menyebut kerajaan
di Sumatra yang keduanya mengacu kepada nama Śrīwijaya. Kedua nama itu adalah Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi. Nama Shih-li-fo-shih
dikenal oleh para pakar sejarah dan arkeologi sebagai nama dari Kadātuan
Śrīwijaya sebelum abad ke-9 Masehi dengan pusatnya di Palembang. Setelah
Śrīwijaya memindahkan ibukotanya ke Jambi, penyebutannya berubah menjadi San-fo-tsi. Masalahnya, bagaimana
halnya dengan Mālayu. Untuk nama kerajaan ini Berita Tionghoa telah menyebutkannya
dengan nama Mo-lo-yeu, seperti yang
diberitakan oleh I-tsing. Antara Mālayu dan
Śrīwijaya agaknya terjadi persaingan, dimana kerajaan yang terlebih dahulu ada
adalah Mālayu, yaitu pada tahun 644-645 Masehi. Keberadaan kerajaan ini sudah diakui dengan diterimanya
utusan ke Tiongkok.
Masa pendudukan Śrīwijaya agaknya berlangsung
cukup lama, mulai dari abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi. Tetapi selama masa
itu, ada juga masa di mana Śrīwijaya agak “lengah”. Kesempatan itu digunakan
untuk mengirimkan duta ke Tiongkok. Berdasarkan catatan Tiongkok, Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Tiongkok
pada tahun 853 dan 871 Masehi. Namun tindakan ini segera diketahui Śrīwijaya.
Oleh sebab itulah, maka pada tahun 905 Masehi raja Śrīwijaya mengirimkan duta
ke Tiongkok dan menegaskan bahwa duta yang datang pada tahun 853 dan 871 Masehi
adalah “pemimpin dari Chan-pi”.
Kronik Istana
Kerajaan Pagan dari abad ke-12 Masehi menyebutkan adanya hubungan
bilateral antara Kerajaan Pagan dengan Kerajaan Mālayu. Raja Pagan mengirim
pendeta Buddha untuk menterjemahkan naskah-naskah agama Buddha atas perintah
raja Mālayu. Pendeta ini kemudian mengawini putri raja dan tinggal di istana
Mālayu.
Di antara Kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya selalu
terjadi persaingan dan satu sama lain saling mendominasi. Suatu saat, ketika
Śrīwijaya lengah, Mālayu bangkit kembali dengan mengirimkan utusannya ke
Tiongkok. Misalnya pada sekitar pertengahan abad ke-11 Masehi, ketika
Śrīwijaya lemah sebagai akibat dari serangan Cōla, Mālayu memanfaatkan
kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilanka
menyebutkan, bahwa pada masa pemerintahan Vijayabahu di Srilanka (1055-1100
Masehi), Pangeran Suryanarayana di Malayapura
(Mālayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Swarnnapura (Sumatra). Kronik Tiongkok, Ling-wai-tai-ta, menyebutkan bahwa pada tahun 1079, 1082 dan
1088, negeri Chan-pi di San-fo-tsi mengirimkan utusan ke negeri
Tiongkok.
Mālayu merupakan
sebuah kerajaan yang dianggap penting. Eksistensi kerajaan ini selalu diakui
oleh berbagai kerajaan. Sebuah kerajaan besar di Nusantara akan selalu memperhitungkan
keberadaan kerajaan Mālayu, seperti misalnya Śrīwijaya dan Majapahit.
Dalam Kakawin Nāgarakŗtāgama
Pupuh XIII:1 dan 2 disebutkan:
1.
Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Mālayu: Jāmbi dan Palembaη,
Karitań, Teba, dan Dharmaśraya pun juga ikut disebut, Kaņdis, Kahwas,
Manańkabwa, Siyak, Ŗkān, Kāmpar dan Pane, Kāmpe, Harw, dan Maņdahiliń juga,
Tumihaη, Parlāk dan Barat.
2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan,
Lampuη dan Barus. Itulah terutama negara-negara Mālayu yang telah tunduk.
Kakawin Nāgarakŗtāgama menyebutkan Mālayu sebagai nama suatu daerah yang identik
dengan Swarnadwipa atau Sumatera. Wilayah kekuasaan kerajaan ini meliputi seluruh
daratan Sumatra, dari ujung baratlaut hingga ujung tenggara. Beberapa daerah
yang merupakan teritori Majapahit di Melayu
seperti misalnya Jāmbi, Dharmaśraya,
Kaņdis, dan Manańkabwa berlokasi
di daerah Sungai Batanghari. Karena disebutkan yang pertama, agaknya Jambi
merupakan tempat yang penting. Pada waktu itu mungkin merupakan sebuah bandar
penting dan bekas ibukota kerajaan. Pada masa Majapahit, ibukota Kerajaan
Mālayu sudah berlokasi di Dharmaśraya yang lokasinya di hulu Batanghari.
Setelah lepas dari Śrīwijaya, Mālayu atau Jambi
tetap diperhitungkan sebagai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting.
Pada waktu Mālayu sudah merdeka, Kerajaan Sińhasāri di Jawa sedang berselisih
dengan Mongol di daratan Tiongkok. Bahkan Sińhasāri sedang menghadapi ancaman
penyerbuan tentara Mongol. Untuk tidak memperbanyak musuh, Sińhasāri dengan
rajanya Kŗtanagara berkeinginan menjalin persahabatan dengan Mālayu. Besarnya
perhatian Kŗtanagara kepada Mālayu membuktikan bahwa pada abad ke-13 Masehi
Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatra. Untuk itulah, maka pada
tahun 1275 Sińhasāri mengadakan ekspedisi pamālayu.
Pararaton menyebutkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasukan-pasukan
berperang ke tanah Mālayu“.Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat
bahwa ekspedisi pamālayu berarti
pendudukan atas Mālayu
Berita tertulis yang penting mengenai
keberadaan lokasi pusat Mālayu di hulu Batanghari diperoleh dari dua buah
prasasti, yaitu Prasasti Dharmaśraya yang berangka tahun 1286 Masehi dan
Prasasti Amoghapāśa yang
berangka tahun 1347 Masehi. Selain itu ada prasasti-prasasti lain yang
ditemukan di daerah pedalaman Sumatra Barat (Pagarruyung dan Batusangkar).
Prasasti Dharmaśraya menyebutkan bahwa pada
tahun 1286 Masehi sebuah arca Amoghapāśa
dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna
dibawa dari Bhūmijawa ke Swarnnabhūmi untuk ditempatkan di Dharmaśraya sebagai punya Śrī Wiswarupakumara. Pejabat tinggi kerajaan yang
diperintahkan oleh Śrī Mahārājādhirāja Kŗtanagara untuk mengiringkan arca
tersebut ialah Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrāhma, Rakryān Sirīkan Dyah
Sugatabrahma, Samgat Payāńan Haŋ Dīpangkaradāsa, dan Rakryān Dmuŋ Pu Wīra.
Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah
Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa.
Isi prasasti tersebut jelas memberikan
informasi kepada kita bahwa penguasa Mālayu pada waktu itu adalah Śrīmat
Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa, dan berkedudukan di Dharmaśraya. Lokasi Dharmaśraya
ini ada di sekitar daerah Sawahlunto-Sijunjung
di Kampung Rambahan, tempat di mana prasasti ini ditemukan pada sekitar tahun
1880-an. Di sekitar daerah ini ditemukan juga beberapa kelompok bangunan candi
yang terdapat di beberapa lokasi, yaitu Padanglawas, Padangroco, Pulau Sawah,
Siguntur, Bukik Awang Maombiak, dan Rambahan.
Ekspedisi Pamālayu
oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan atau penguasaan atas
Mālayu. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya tidak ada petunjuk pendudukan
Sińhasāri atas Mālayu, seperti tercantum dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya
Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa.” Arca Amoghapāśa yang dikirimkan oleh Kŗtanagara ditemukan kembali di
Rambahan yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun
ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya yang dipahatkan
pada bagian lapik arca, arca Amoghapāśa
yang ditemukan di Rambahan ternyata merupakan pasangannya.
Arca Amoghapāśa
yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an memberikan pentunjuk
bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di daerah Mālayu adalah Śrī Mahārājā
Ādityawarmman, upacara yang bercorak tantrik,
pembuatan sebuah arca Buddha, dan
pemujaan kepada Jina. Informasi yang
terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh Kŗtanagara.
Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana beranggapan bahwa pada tahun 1347
merupakan tahun awal pemerintahan Ādityawarmman di Mālayu.
Prasasti lain yang jelas-jelas menyebutkan
perpindahan pusat pemerintahan adalah Prasasti Gudam. Berdasarkan informasi
dari prasasti ini, de Casparis menduga bahwa yang memindahkan pusat kekuasaan
ke daerah Batusangkar adalah Akarendrawarman, raja Mālayu pendahulu
Ādityawarmman. Pada sekitar tahun 1340-an, di daerah Batusangkar dan
Pagarruyung memerintah seorang raja yang bernama Ādityawarmman. Pada
prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah tersebut, misalnya Prasasti
Kuburajo I dikatakan bahwa Ādityawarmman memerintah di kaņakamedinīndra (=raja pulau emas) Pada tahun 1347, berdasarkan
isi Prasasti Amoghapāśa Ādityawarmman
mengangkat dirinya menjadi seorang mahārājādhirāja
dengan gelar Śrī Udayādityawarmman atau Ādityawarmodaya Pratāpaparākramarājendra
Mauliwarmadewa.
Berdasarkan data prasasti dan pertanggalan situs di
daerah Batanghari, Kerajaan Mālayu sekurang-kurangnya telah mengalami tiga
kali pemindahan pusat pemerintahan. Pusatnya yang pertama berlokasi di
sekitar kota Jambi sekarang, pusat yang kedua di daerah Padangroco, dan pusat
yang ketiga di daerah Pagarruyung. Para sarjana menduga bahwa pemindahan pusat
pemerintahan ini disebabkan karena ancaman dari musuh, terutama musuh yang
datang dari Jawa melalui Sungai Batanghari. De Casparis menduga bahwa Mālayu
pada masa akhir mendapat ancaman dari kerajaan yang bercorak Islam di Samudra
Pasai yang juga datang melalui Batanghari. Unsur ancaman dari negara tetangga
memang ada, tetapi dalam hal ini saya lebih condong untuk menyatakan bahwa
alasan pemindahan pusat pemerintahan itu adalah untuk penguasaan sumber emas
yang banyak terdapat di daerah pedalaman. Di samping itu, secara geografis
daerah pedalaman di Batusangkar dan Pagarruyung dekat dengan jalan air yang
lain, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Jika dibandingkan dengan
Sungai Batanghari, muara kedua sungai ini lebih dekat dengan Selat Melaka. Emas
dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Mālayu melalui sungai-sungai ini.
Mengenai perpindahan pusat kerajaan ini, atau
setidak-tidaknya perpindahan permukiman tampak dari pertanggalan situs,
Berita Tionghoa dan berita prasasti. Situs-situs arkeologi yang ditemukan di
daerah Batanghari, mulai dari daerah hilir sampai ke daerah hulu menunjukkan
suatu pertanggalan yang berbeda. Situs di daerah hilir menunjukkan pertanggalan
yang tua, seperti misalnya situs Koto Kandis berasal dari sekitar abad ke-8-13
Masehi dan Muara Jambi berasal dari sekitar abad ke-8-13 Masehi. Di daerah hulu
Batanghari menunjukkan pertanggalan yang lebih muda, yaitu dari sekitar abad
ke-13-14 Masehi. Berita Tionghoa Ling
piao lu i (889-904 Masehi) menyebutkan Pi-chan
(=Jambi) mengirim misi dagang ke Tiongkok, sedangkan Kitab Sejarah Dinasti Song (960-1279 Masehi) Buku 489 menyebutkan raja
tinggal di Chan-pi (=Jambi). Apabila
data pertanggalan situs dan data Berita Tionghoa dikorelasikan, maka akan
tampak keselarasannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aktivitas
Kerajaan Mālayu pada masa awalnya (sebelum Śrīwijaya abad ke-7 Masehi)
berlokasi di daerah hilir Batanghari dengan pusatnya di sekitar kota Jambi
sekarang.
Situs Muara Jambi yang merupakan suatu kompleks
percandian, dibangun dalam beberapa tahap, misalnya Candi Gumpung dibangun
setidak-tidaknya dalam dua tahap pembangunan. Berdasarkan temuan lempengan
emas yang bertulisan yang ditemukan di dalam sumuran candi Gumpung, menurut
paleografinya berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Tetapi langgam arca Prajñaparamita yang ditemukan di antara
runtuhan candi Gumpung, berasal dari abad ke-13-14 Masehi. Berdasarkan pertanggalan
relatif dari paleografi, gaya seni arca, dan gaya seni bangunan Sulaiman
menduga bahwa kompleks percandian Muara Jambi sudah ada sebelum kedatangan
pengaruh Sińhasāri. Lagipula, ada seorang guru yang bernama Atiśa dari India
yang belajar di Malayagiri antara
tahun 1011-1023 Masehi. Mungkin ia berkunjung ke Muara Jambi pada waktu datang
ke Malayagiri.
Jambi dengan kompleks percandiannya di Muara
Jambi mungkin merupakan tempat yang strategis. Daerah ini merupakan daerah
Kerajaan Mālayu yang pada waktu Śrīwijaya sedang kuat berada di bawah kekuasaan
Śrīwijaya. Waktu itu Śrīwijaya merupakan sebuah Talasocracy, sebuah kerajaan yang merupakan himpunan dari
bandar-bandar. Setelah Śrīwijaya lemah, Kŗtanāgara memandang perlu menjalin
persahabatan dengan Mālayu karena adanya ancaman dari Tiongkok. Untuk itulah
pada tahun 1275 Masehi dikirim ekspedisi Pamālayu.
Untuk lebih mempererat persahabatan dengan Mālayu, pada tahun 1286 Masehi
Kŗtanāgara mengirimkan arca Amoghapāśa.
Mengenai perpindahan pusat kerajaan dari daerah
hilir ke daerah hulu Batanghari hingga kini belum ditemukan sumber tertulisnya.
Secara ekonomis, daerah hilir Batanghari (Jambi) lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan daerah hulu (Sumatra Barat). Di daerah hilir, sungai Batanghari dapat
dilayari dengan perahu-perahu ukuran besar, sedangkan di daerah hulu tidak.
Dasar sungai dangkal dan berbatu-batu. Sungai Batanghari di daerah hulu hanya
dapat dilayari dengan sampan. Tetapi, ditinjau dari segi keamanan, daerah
pedalaman lebih menguntungkan karena daerah ini tidak mudah dijangkau dengan
menggunakan perahu besar.
Perpindahan pusat kerajaan ke daerah hulu, mungkin
disebabkan karena alasan keamanan. Selain itu penguasa pada waktu itu memandang
perlu pengawasan terhadap sumber alam tambang emas. Daerah pedalaman, terutama
di daerah Sumatra Barat (hulu Batanghari), sejak dulu merupakan sumber emas.
Sumber emas inilah kemudian dikelola oleh penguasa Mālayu dan dimanfaatkan
sebagai sumber penghasilan kerajaan.
Perkembangan Kerajaan Mālayu mencapai puncaknya
pada masa pemerintahan Ādityawarman dengan pusatnya di daerah hulu
Batanghari. Pada masa itu logam emas dimanfaatkan semaksimal mungkin, seperti
dipakai sebagai bahan lempengan emas, benang emas, lembaran emas bertulis,
kalung, dan arca. Meskipun pusat kerajaan berlokasi di daerah hulu Batanghari
di wilayah Minangkabau, Ādityawarman tidak pernah menyebut daerah kekuasaannya
sebagai Kerajaan Minangkabau seperti dikemukakan oleh Moens. Ia menamakan
dirinya sebagai Kanakamedinīndra
yang berarti 'penguasa negeri emas atau Swarnnadwīpa,
Sumatra, Swarnnabhūmi. Dengan demikian ia menganggap pula dirinya sebagai
penguasa daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah kekuasaan Śrīwijaya.
Dengan pindahnya pusat kerajaan ke hulu
Batanghari, ini tidak berarti daerah hilir diabaikan. Jambi sebagai bekas pusat
kerajaan tetap berkembang sebagai sebuah pelabuhan yang penting. Melalui
pelabuhan Jambi barang-barang komoditi dari daerah pedalaman dipasarkan ke
daerah lain. Pada abad ke-12-14 Masehi, Jambi merupakan salah satu dari tiga
bandar penting di Sumatra bagian timur. Dua buah lagi adalah Kota Cina di
wilayah Sumatra Utara dan Palembang di wilayah Sumatra Selatan.
Tinggalan budaya masa lampau dari situs-situs
di daerah hilir Batanghari sebagian besar berupa keramik. Barang ini diketahui
sebagai barang import dari Tiongkok. Di Situs Koto Kandis, Situs Suakkandis,
dan Situs Muara Jambi temuan yang paling dominan adalah keramik Tiongkok dari
masa Dinasti Song-Yuan (abad ke-12-14 Masehi). Dengan ditemukannya
barang-barang tersebut, kita memperoleh bukti bahwa pada masa lampau hilir
Batanghari (Jambi) memegang peranan penting dalam perdagangan internasional.
Para pedagang dari daerah lain datang ke Jambi membawa barang dagangan untuk
ditukar dengan hasil setempat. Dari Tiongkok para pedagang membawa keramik dan
kain sutera. Kembalinya ke Tiongkok mereka membawa damar dan kapur barus.
PELESTARIAN
DAN PENGEMBANGAN SITUS PERCANDIAN MUARAJAMBI
Pelestarian
Situs Percandian Muarajambi sejak tahun 1990 hingga sekarang ditangani oleh
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi sebagai Unit Pelaksana Teknis,
Direktorat Peninggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi mempunyai wilayah kerja
Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Dalam hal ini benda cagar
budaya yang ditangani di wilayah empat provinsi cukup beragam, misalnya untuk
di wilayah Sumatera Selatan penangan benda cagar budaya cukup beragam mulai
dari tinggalan prasejarah di dataran tinggi Paseman (Lahat dan Pagar Alam),
Tinggalan masa klasik hindu-buddha di Percandian Bumiayu serta tinggalan
Kerajaan Sriwijaya di Kota Palembang, juga dari masa Islam dan Kesultanan
Palembang hingga masa penjajahan Belanda dan Jepang. Untuk di wilayah Provinsi
Bengkulu tinggalan budaya yang ditangani lebih didominasi dari masa
kolonialisme Inggris dan Belanda, seperti keberadaan Benteng Marlborough dan
bangunan-bangunan masa kolonial lainnya. Di wilayah kerja Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung disamping kekayaan benda cagar budaya dari masa kolonialisme
dan sejarah pertambangan timah, tidak kalah pentingnya berupa tinggalan bawah
air yang ada di perairan kepualauan ini. Di wilayah Provinsi Jambi sendiri
pelestarian benda cagar budaya juga cukup beragam dari masa prasejarah, masa
klasik hindhu-buddha, masa Islam hingga dari kolonialisme.
Khusus
pelestarian dan pengembangan Situs Percandian Muarajambi yang telah dan sedang
dilakukan BP3 Jambi, yaitu :
a. Identifkasi Luas Situs
Hasil
pendokumentasian dan perekaman data menunjukkan luas situs Percandian Muarajambi lebih kurang 2062 hektar, sedangkan
data terbaru luas 2615 hektar dengan bentang lahan berbentuk linier
timur-barat mengikuti alur tepian Sungai Batanghari sepanjang 7,5 kilometer. Batas-batas situs
sebagian dinyatakan secara jelas dengan keberadaan kanal-kanal kuno, baik
buatan maupun sungai alam yang mengelilingi kawasan situs dan berhubungan
dengan Sungai Batanghari. Sampai saat
ini sedikitnya terdapat 82 menapo (reruntuhan bangunan kuno), sebagian besar
merupakan reruntuhan bangunan candi dan sisa pemukiman kuno. Tinggalan benda
cagar budaya sebagian besar masih tertutup tanah dan berada di lahan kebun
rakyat.
b. Pelestarian
Pendokumentasian
dan Publikasi
Kegiatan
pendokumentasian tinggalan benda cagar budaya di Situs Percandian Muarajambi
terus dilakukan, baik mencakup registrasi maupun merekam benda cagar budaya
dalam bentuk data tekstual, pictural, maupun audio visual. Di bidang publikasi
antara lain melalui pameran kepurbakalaan, kemah budaya, penerbitan
buletin/majalah, Web Site, field school dengan melibatkan siswa sekolah. Tujuan
publikasi sendiri adalah untuk memberikan informasi kepurbakalaan sebagai
bagian dari pembangunan kebudayaan dalam rangka pembentukan karakter masyarakat
dan bangsa Indonesia.
Pemugaran
Pemugaran
bangunan kuno yang telah dilaksanakan BP3 Jambi di empat wilayah kerja, yaitu
di Sumatera Selatan khususnya di Percandian Bumi Ayu, Kepulauan Bangka Belitung
pemugaran Rumah Pengasingan Bung Karno, Bengkulu pemugaran Benteng Marborough.
Untuk di Provinsi Jambi antara lain Masjid Kuno di Kerinci, sedangkan di
Percandian Muarajambi telah dipugar sebanyak 7 buah kompleks Bangunan Candi.
Kompleks
bangunan candi Muarajambi yang telah dipugar, yaitu Candi Astano, Candi Kembar
Batu, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Gumpung, Candi Gedong I dan Candi
Gedong II. Selanjutnya pada saat ini yang sedang dalam proses pemugaran adalah
Candi Kedaton. Selebihnya masih dalam tahap penelitian pelestarian dan studi
teknis persiapan pemugaran.
Pemeliharaan
Pemeliharaan
benda cagar budaya mencakup kebersihan dan keindahan lokasi bcb, perawatan dan
konservasi bcb dari kerusakan atau pengaruh alam dan aktivitas manusia.Untuk
pemeliharaan bangunan candi di Situs Percandian Maurajambi cukup rumit
mengingat seluruh bangunan kuno terbuat dari bata yang rentan terhadap pengaruh
alam, seperti curah hujan, panas, suhu, kelembaban, maupun pertumbuhan biota
yang dapat merusak unsur dan struktur bata.
Perlindungan
Perlindungan
terhadap benda cagar budaya dari sisi legalitas mengacu pada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Sedangkan perlindungan benda
cagar budaya yang disebabkan alam mengacu pada aspek kelestarian benda cagar
budaya sebagai sumber daya budaya yang tidak dapat diperbarui.
c. Pengembangan
Pengembangan
Situs Percandian Muarajambi dilaksanakan secara sinergi dengan Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten, serta masyarakat terutama
masyarakat lokal yang tinggal di kawasan Situs Percandian Muarajambi.
Pengembangan Situs Percandian Muarajambi secara sinergi diarahkan pada suatu
visi menjadikan Situs Percandian Muarajambi sebagai Warisan Budaya Dunia (World Heritage). Dalam visi tersebut beberapa misi telah dicapai
antara lain:1.
- Pembuatan Master Plan Situs Muarajambi Pada Tahun 2006
- Pembuatan DED Wilayah I Percandian Muarajambi tahun 2007
- Normasilisasi jaringan kanal kuno yang dimulai tahun 2007 hingga sekarang. Sampai pada tahun 2008 telah dinormalisasi sepanjang 12 km dari 20 km yang direncanakan. Kanal kuno yang sudah dinomalisasi meliputi Sungai Terusan, Sungai Melayu, dan Sungai Medak, sebagian Sungai Jambi. Normalisasi kanal kuno ini nantinya juga mencakup danau kuno, seperti Danau Kelari dan Danau Serapil. Dua danau kuno ini merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Situs Percandian Muarajambi dan merupakan daya dukung lingkungan hidup masyarakat masyarakat masa lalu sebagai pendukung keberadaan percandian Muarajambi.
- Dalam menjadikan Situs Percandian Muarajambi sebagai World Heritage membutuhkan proses panjang, dan sampai pada saat ini baru pada tahap usulan Tentative List Situs Percandian Muarajambi yang dikerjakan oleh Direktorat Peninggalan Purbakala dan UPT BP3 Jambi, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi.
- Memasukan Kawasan Situs Percandian Muarajambi dalam Rencana Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten, sebagai Kawasan Cagar Budaya.
Pengembangan Situs
Percandian Muarajambi kini terus diupayakan hingga tercapainya visi yang telah
dicanangkan secara bersama, baik oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten,
dan masyarakat.
3. Penutup
Situs Percandian Muara
Jambi diduga telah ada sejak abad ke-8 Masehi. Situs ini merupakan situs keagamaan
yang dibangun oleh kelompok masyarakat pemeluk agama Buddha Mahāyāna pada
sekitar abad ke-8 Masehi dan terus berlanjut hingga abad ke-14 Masehi. Seiring
dengan perpindahan pusat kekuasaan ke Dharmasraya di wilayah Sumatera Barat. Pelestarian dan Pengembangan Situs
Percandian Muarajambi kini tetap diupayakan dengan menjaga keaslian nilai-nilai
Benda Cagar Budaya sebagai sumber pengetahuan dan kebudayaan.
Sumber: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi
www.purbakalajambi.budpar. go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar