Selamat Datang! di Cafebahasa dan Budaya-Bambang Setiawan-Blog Informasi Budaya-Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan-Kirim artikel Anda untuk diposting-bbg_cla@yahoo.com

Selasa, 31 Juli 2012

Situs Percandian Muaro Jambi

MELIRIK SITUS PERCANDIAN MUARAJAMBI DI KABUPATEN MUARO JAMBI
Perspektif Sejarah Masa Lalu, Kini, dan Sekarang

Pulau Sumatra telah memiliki sejarah peradaban yang cukup panjang. Data tertulis yang sampai kepada kita, terhitung sejak abad ke-7 Masehi telah ada institusi kerajaan yang bernama Mo-lo-yeu atau Mālayu dan Śrīwijaya. Kedua kerajaan ini hidup pada waktu yang bersamaan, namun sepanjang sejarahnya saling mendo­minasi. Pada akhirnya yang eksistensinya lebih lama adalah kerajaan Mālayu. Sebagai sebuah pulau yang telah memiliki sejarah peradaban yang cukup panjang, tentu saja banyak meninggalkan jejak peradaban. Salah satu jejak per­adaban adalah tinggalan bangunan-bangunan keagamaan yang dikenal dengan nama candi, stūpa, atau biaro. Dilihat dari kuantitasnya, tinggalan budaya yang berupa bangunan keagamaan tidak kalah dengan yang ada di Jawa. Namun jika dilihat dari kualitas dan gaya seninya, masih jauh berada di bawah Jawa. Lepas dari sudut pandang tersebut, tinggalan budaya tersebut sama pentingnya bagi penyusun­an sejarah kebudayaan. Masing-masing wilayah mempunyai kelebihan atau keisti­me­waan tersendiri.
Beberapa tempat di Sumatra yang mengandung tinggalan budaya berupa kompleks percandian, antara lain Bumiayu, Muara Jambi, Padangroco, Pulau Sawah, Tanjung Medan, Muara Takus, dan Padanglawas. Ada juga bangunan-bangunan yang berdiri sendiri tidak dalam satu kompleks percandian, misalnya Candi Jepara, Candi Lesungbatu, Candi Bukik Awang Maombiak, dan Candi Sintong. Seluruh bangunan yang dibuat dari bahan bata tersebut belum banyak dikenal masyarakat. Hanya kalangan tertentu saja, seperti arkeolog dan sejarahwan dalam dan luar negeri yang mengenalnya. Atau masyarakat di sekitar bangunan tersebut berada yang mengenalnya.Situs Percandian Muara Jambi oleh beberapa pakar arkeologi dan sejarah dihubungan dengan kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya. Dugaan tersebut dapat saja dikemukakan karena beberapa sumber tertulis mengindikasikan ke arah itu. Karena itulah secara teoritis (teori yang dibangun berdasarkan sumber-sumber tertulis), Hasan Djafar membagi kehidupan Kerajaan Mālayu dalam tiga fase kehidupan, yaitu:



Fase I

Fase Awal, sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi;
Fase II
Fase Pendudukan oleh Śrīwijaya, sekitar tahun 680 sampai seki­tar per­tengahan abad ke-11 Masehi;
Fase III
Fase Akhir, sekitar pertengahan abad ke-11 sampai sekitar akhir abad ke-14 Masehi.
 
Ketiga fase tersebut mengacu kepada perjalanan sejarah Kerajaan Mālayu Kuna, tetapi tidak menjelaskan lokasi pusat pemerintahannya. Beberapa pakar berpen­dapat bahwa pusat Mālayu pada Fase Awal berlokasi di sekitar Kota Jambi sekarang. Pendapat ini didasarkan atas asumsi bahwa pusat kerajaan adalah juga merupakan pelabuhan Mālayu. Pelabuhan Mālayu yang lokasinya di tepi Batanghari sangat baik untuk pelabuhan sungai. Sungai Batanghari yang panjangnya sekitar 800 km, lebarnya sekitar 500 meter dan keda­lamannya lebih dari 5 meter cukup baik untuk pelayaran sungai. Panjang sungai dapat dilayari perahu atau kapal besar adalah sekitar 600 km. Selebihnya hanya dapat dilayari perahu kecil. Situs Muara Jambi dalam konteks sejarah Kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya eksistensinya berada pada kurun waktu abad ke-7-14 Masehi. Hal ini berdasarkan data pertulisan singkat dan gaya seni arca yang ditemukan dari Situs Muarajambi dan  data arkeologi dari situs lain yang lokasinya ada di sekitar Batanghari.

1. Lokasi dan Lingkungan
Situs Muara Jambi secara administratif terletak di Desa Muara Jambi, Keca­matan Marosebo, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi, dan secara astronomis terletak pada koor­dinat 103º41'15" BT dan 1º28'31" LS. Untuk mencapai lokasi situs dapat dipakai kendaraan bermotor roda empat melalui Desa Kasang dan berhenti tepat di seberang sisi timur Batanghari, di muka Desa Muara Jambi. Dari tempat ini perja­lanan kemudiandilanjutkan dengan perahu tradisional yang khusun dipakai  menyeberangi Batanghari menuju ke Desa Muarajambi begitu juga sebaliknya. Kalau mau langsung dengan jalan darat dapat melalui Sengeti setelah melalui jembatan yang menyeberangi Batanghari. Jalan lain dapat ditem­puh selama dua jam perjalanan dengan menggunakan perahu motor tempel atau selama setengah jam perjalanan dengan speed-boat, dari Kota Jambi melayari Batanghari menuju ke hilir.
Situs Muara Jambi yang ketinggiannya sekitar 14 meter d.p.l terletak di suatu daerah dataran yang merupakan daerah tanggul alam dari Sungai Batanghari. Di sebelah utara terdapat rawa-rawa yang ketinggiannya sekitar 10 meter d.p.l. dan di sebelah selatan dan timur  terdapat Sungai Batanghari. Di beberapa tempat masih terdapat daerah yang rendah dan merupakan daerah rawa. Di sekeliling bangunan terdapat tanah yang rendah merupakan parit keliling halaman bangunan candi.
Selain Sungai Batanghari, Situs Muara Jambi dikelilingi oleh sungai buatan (kanal kuno)  dan sungai alam membentuk sebuah jaringan antara lokasi percandian yang satu dengan yang lainnya. Kanal-kanal dan sungai alam ini antara lain Sungai Melayu, Sungai Jambi, Parit Johor, Parit Sekapung, Parit Buluh, Parit Selat, Sungai Medak, Sungai Terusan, Sungai Seno, dan Sungai Amburan Jalo. Disamping itu tidak jauh dari lokasi Kompleks Candi Astano terdapat Danau Kelari yang berhubungan dengan Sungai Jambi.  Ciri kanal buatan tampak dari potongan garis lurus aliran air dan kedua sisi tebing aliran air berupa gundukan tanah memanjang bekas tanah galian kanal.

2. Riwayat  Penemuan Situs Muara Jambi
Perhatian terhadap antiquiti yang terdapat di Muara Jambi sudah dimulai sejak tahun 1820 oleh Kapten S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris. kemudian oleh Adam tahun 1920. Melihat ting­galan di Muara Jambi, ia menyimpulkan bahwa Muara Jambi merupakan sebuah ibu kota dengan bangunan-bangunan yang dibuat dari bata/batu. Dugaan Adam ini disetujui oleh oleh Schnitger yang berkunjung pada tahun 1936. Setelah lama tidak diteliti, pada tahun 1954 sebuah tim dari Dinas Purbakala menin­jau lokasi Situs dan mendata kembali apa yang telah dilaporkan oleh Schnitger. Pada tahun 1975 sampai sekarang Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala melakukan pemugaran pada Candi Tinggi, Gumpung, Astano, dan Kembarbatu. Sementara itu, Pusat Penelitian arkeologi Nasional sejak tahun 1978 hingga sekarang (diteruskan oleh Balai Arkeologi Palembang) secara periodik masih melakukan penelitian arkeologi di situs percandian Muara Jambi. Beberapa penelitian yang dilakukan berhasil menemukan indikator permukiman di luar halaman percandian, tetapi permukiman ini merupakan permukiman sementara yang ditinggali oleh para penziarah.
Situs Percandian Muara Jambi mempunyai luas sekitar 2062 Ha. Hing­ga waktu ini, di kawasan situs terdapat sekurang-kurangnya 33 buah runtuhan bangunan bata. Seba­­gian dari bangunan-bangunan bata tersebut menge­lom­pok di suatu tempat yang dikelilingi tembok pagar keliling, misalnya Candi Teluk (di seberang selatan Sungai Batang­­hari), Kembar­batu, Gedong, Gumpung, Tinggi, Kota Mahligai, dan Kedaton; dan seba­gian lagi merupakan suatu bangunan tersen­diri yang letaknya terpisah-pisah, misal­nya Candi Astano, Manapo Melayu, dan beberapa manapo kecil lainnya.
Permukaan tanah halaman kelompok percandian biasanya lebih tinggi sekitar 1 meter dari permukaan tanah di luar tembok dan parit keliling. Tanah untuk meninggikan halaman diambil dari hasil galian parit keliling. Di beberapa tempat permukaan tanah hala­man diper­keras atau dilapisi dengan lantai bata, misalnya pada Candi Tinggi, Candi Kembarbatu, dan Candi Teluk.  Selain bangunan-bangunan candi, di Situs Muara Jambi ditemukan juga sisa permu­kiman dengan indikatornya pecahan-pecahan keramik dan tembikar, serta barang-barang untuk keperluan sehari-hari. Petunjuk ini ditemukan di tebing-tebing sungai Batanghari dan di sekitar kelompok bangunan candi di luar tembok pagar keliling. Berdasarkan pertanggalan keramiknya permukiman di Muara Jambi diduga berasal dari abad ke-7-13 Masehi.
Dari Situs Muara Jambi ada indikator pertanggalan situs, yaitu dari per­tulisan singkat yang ditemukan di runtuhan Candi Gumpung, pertulisan pada gong perunggu dalam aksara Tionghoa, fragmen arca Buddha, arca Prajñapāramitā dari Candi Gumpung, dan pecahan keramik. Semua bukti-bukti pertanggalan terse­but dikaitkan dengan temuan di sekitarnya atau beberapa di antaranya masih dalam konteksnya. Pertulisan singkat yang digoreskan pada kertas emas ditemukan pada lubang peripih bangunan Candi Gumpung, sedangkan arca Prajñapāramitā dite­mukan di bagian depan runtuhan bangunan Candi Gumpung.

3. Tinggalan Arkeologi
3.1.  Pertulisan
Pada waktu dilakukan pembongkaran terhadap bagian dasar bangunan  pertama Candi Gumpung, di bagian tengahnya ditemukan 13 buah lubang yang berdenah bujursangkar. Lubang yang terbesar terletak di tengah, lubang yang sedang empat buah terletak di tepi lubang yang terbesar, dan lubang yang terkecil delapan buah terletak di luar dari lubang yang sedang. Dari 13 lubang tersebut, tujuh buah lubang di dalamnya ditemukan barang-barang berupa lempengan/kertas emas. batu mulia, lempengan/kertas emas bertulisan dengan aksara Jawa Kuna, dan cepuk emas, enam lubang telah kosong. Konstelasi lubang-lubang ini menuruti delapan penjuru mata angin. Boechari dalam laporannya berusaha untuk mengetahui pertanggalan Candi Gum­pung melalui paleografi yang pada prasasti-prasasti emas tersebut. Tulisan-tulisan pada pra­sasti diduga berasal dari pertengahan abad ke-9 sampai permulaan abad ke-10 Masehi. Indikator ini dapat diketahui dari ciri umum bentuk huruf, antara lain kecenderungan bentuk bulat dan adanya kuncir pada huruf-huruf tertentu.
Tinggalan budaya zaman lampau lain ditemukan di halaman kelompok candi Kembar­batu berupa sebuah gong perunggu, pecahan-pecahan keramik, manik-manik  kaca dan batu, dan bata ber-hias. Gong peru-nggu yang dite-mukan beruku-ran sekitar 25 cm. Di bagian sisinya terdapat tulisan yang ditulis dalam aksara dan bahasa Tionghoa. Pada tulisan ini tercantum angka tahun 1231 Masehi. Angka tahun yang tergores pada gong sesuai dengan pertanggalan pecahan keramik yang berasal dari zaman dinasti Song abad ke-10-12 Masehi.

3.2 Artefak
Artefak yang ditemukan di Situs Percandian Muarajambi cukup banyak seperti keramik, tembikar, artefak dari bahan perunggu, dan artefak lainnya. Dua artefak diantaranya arca Prajnaparamita dan Dwarapala. Artefak tersebut tersimpan di Gedung Koleksi Situs Percandian Muarajambi dan sebagian ada di Museum Negeri Jambi, bahkan ada yang tersimpan di museum di Kota Palembang yang dibawa pada masa pemerintah Kolonial Belanda.

3.3. Bangunan Candi
Situs Muarajambi dapat dikatakan merupa-kan situs percandian, hampir seluruh kawasan sepan-jang 7,5 km dipenuhi gugusan percandian dari timur sampai barat, meskipun pada beberapa bagianjuga ditemukan sisa pemukiman dan kolam kuno. Sampai sekarang sedikitnya telah ditemukan 82 menapo (gundukan tanah reruntuhan bata) sebagian besar diidentifikasikan sisa bangunan candi. Kompleks percandian tersebut antaera lain, Kompleks Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Astano, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Kedaton, Candi Koto Mahligai, selebihnya masih dalam bentuk reruntuhan (menapo).                              
3.4. Sisa Pemukiman Kuno
Sisa pemukiman kuno juga banyak ditemukan di kawasan Situs Muarajambi, identifikasi secara umum pada permukaannya banyak ditemukan pecahan keramik asing, tembikar, mata uang, dan bahkan perhiasan seperti cincin. Belum banyak penelitian arkeologi berkenaan dengan pemukiman kuno di Situs Muarajambi, namun dapat dikenali dari bentuk lahan yang sudah di tata sedemikian rupa sesuai dengan lingkungan situs yang berupa rawa-rawa dan daerah aliran Sungai Batanghari. Tata lahan bekas pemukiman kuno terdapat di tepian Sungai Batanghari dicirikan dengan lapisan budaya yang berbentuk garis memanjang berisi pecahan keramik, arang, bata, gerabah, dan artefak lain. Sedang sisa pemukiman yang di dalam dataran berbentuk lahan yang rata, dilelilingi parit keliling dan sebagian terhubung dengan kanal-kanal kuno yang mengelilingi Situs Muarajambi. Meski telah berabad-abad ditinggalkan namun bekas-bekas adanya parit masih tergambar jelas dan pada permukaan tanahpun masih dijumpai pecahan-pecahan keramik.
3.5. Kanal Kuno
Kanal kuno atau sungai buatan ini merupakan bagian dari tinggalan arkeologi di Situs Muarajambi. Kanal dan sungai alam pada masa lalu telah dirancang sedemikian rupa membentuk jaringan tata guna air yang saling berpoto-ngan, baik yang men-gelilingi Situs Muara-jambi maupun yang menghubungkan an-ara lokasi gugusan candi yang satu dengan yang lain. Kanal  kuno tersebut antara lain, Sungai Jambi, Sungai Melayu, Parit Sekapung, Parit Johor, Sungai Buluran Dalam, serta sungai alam; Sungai Terusan dan Sungai Seno. 

4. Interpretasi Kesejarahan
Wilayah Kerajaan Mālayu Kuna secara geografis terletak di sekitar daerah aliran Sungai Batang­hari yang meliputi Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatra Barat; di sekitar Kabupaten Tanah Datar (Pagarruyung); dan di sekitar daerah aliran sungai Rokan, Kampar, dan Indragiri di wilayah Provinsi Sumatra Barat dan Provinsi Riau. Di beberapa tempat, di tepian sungai Batanghari banyak ditemukan situs arkeologi, mulai dari daerah hilir (di wilayah Provinsi Jambi) hingga daerah hulu (di wilayah Provinsi Sumatra Barat), antara lain Muara Sabak, Koto Kandis, Situs di daerah pertemuan Sungai Batanghari dan Sungai Kumpeh (Ujung Plancu, Suakkandis, dan Sematang Pundung), Muara Jambi, dan Solok Sipin (Jambi) di wilayah Provinsi Jambi; dan Situs Padanglawas, Ram­bahan, Pulau Sawah, Bukik Awang Maombiak, dan Padangroco di wilayah Provinsi Sumatra Barat.
Berdasarkan identi­fikasi unsur pertanggalan yang diperoleh dari paleografi tulisan-tulisan singkat pada lempeng emas di Candi Gumpung, tulisan singkat pada batu pipisan dari Koto Kandis, tulisan singkat pada arca makara dari Solok Sipin, dan pecahan keramik menunjukkan pertanggalan sekitar abad ke-8--11 Masehi. Unsur pertanggalan situs tersebut terletak di daerah hilir Batang­hari. Unsur pertanggalan yang lebih muda ditemukan di situs-situs di hulu Batanghari berasal dari sekitar abad ke-13-14 Masehi. Unsur pertanggalan ini diperoleh pada Prasasti Dharmaśraya dari Padangroco yang menunjukkan angka tahun 1286 Masehi, Prasasti Amoghapāśa dari Rambahan menunjukkan angka tahun 1347 Masehi, dan pecahan keramik dari situs Rambahan, Pulau Sawah, Siguntur, dan Padangroco menunjukkan pertanggalan abad ke-13-14 Masehi.          
Pertanggalan situs tersebut menunjukkan kepada kita bahwa di daerah Batang­hari pada Masa Klasik Indonesia telah terdjadi pergeseran permukiman. Permukiman yang tua berlokasi di daerah hilir Batanghari, sedangkan permukiman yang muda berlokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Sumatra Barat. Dalam sejarah Batang­hari, di wilayah ini pernah ada dua kerajaan besar yang berpengaruh di belahan barat Nusantara. Kedua kerajaan itu adalah Mālayu dan Śrīwijaya yang tumbuh dan berkem­bang pada waktu yang bersamaan. Dari Berita Tionghoa yang ditulis oleh I-tsing disebutkan bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Mālayu  pernah menjadi bagian dari Śrīwijaya. Setelah Śrīwijaya melemah, Mālayu kemudian merdeka kembali.
Di dalam kitab Sejarah Dinasti T'ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kali­nya disebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644-645 Masehi. Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang letaknya di pantai timur Pulau Sumatra, dan pusatnya di sekitar Jambi. Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681 Masehi) disebut nama negeri Zābag sebagai bandar lada terbesar di Sumatra bagian selatan. Toponim Zābag dapat diiden­tifikasikan dengan (Muara) Sabak, di daerah muara Sungai Batanghari.
Pada tahun 672 Masehi, dalam perjalanannya dari Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (=Śrīwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata-bahasa bahasa Sansekerta sebe­lum melanjutkan pelayarannya ke Chieh-cha (Kedah) dan menuju Nālanda (India). Dari Shih-li-fo-shih kemudian ia singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Selanjutnya, I-tsing menuliskan bahwa sekemba­li­nya dari Nālanda, pada tahun 685 Masehi ia singgah di Mo-lo-yeu yang sekarang menjadi Fo-she-to. Oleh karena I-tsing meninggalkan Nālanda pada tahun 685 Masehi, pendudukan Mālayu oleh Śrīwijaya berlangsung antara tahun 671 Masehi, ketika ia mening­galkan Śrīwijaya dan tahun 688/689 Masehi ketika ia datang lagi ke Śrīwijaya. Berita I-tsing tersebut sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang ditemukan di tepi Sungai Merangin, anak Batanghari di daerah hulu, menyebutkan tentang persumpahan bagi yang tidak mau tunduk kepada Kadātuan Śrīwijaya. Kedua data ini menginformasikan kepada kita bahwa pada waktu itu Mālayu telah ditaklukan dan diduduki oleh Śrīwijaya sampai sekitar abad ke-13 Masehi. Pendudukan Śrīwijaya atas Mālayu dianggap penting karena dengan menduduki Mālayu, Śrīwijaya dapat menguasai bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Kota Kapur (Bangka), Bhumī Jāwa, serta Palas dan Jabung (Lampung). Dengan menduduki daerah-daerah ini Śrīwi­jaya tidak perlu memindahkan ibukotanya yang ada di Palembang.
Di dalam sebuah Berita Tionghoa disebutkan bahwa pada tahun 853 dan tahun 871 Masehi, Chan-pi mengirim misi dagang ke Tiongkok. Dalam catatan Ling piao lu i yang ditulis dalam tahun 889-904 Masehi, disebutkan Pi-chan (Chan-pi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orang-orang Hu mengum­pulkannya dan diberikan kepada pegawai Tiongkok sebagai curiosities. Menurut Wolters, toponim Chan-pi atau Pi-chan dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti Song (960-1279 Masehi) menyebut­kan sebuah kerajaan di Sumatra yang bernama San-fo-t'si. Diuraikan bahwa kerajaan itu terletak di Laut Selatan di antara Chen-la (=Kamboja) dan She-po (=Jawa). Ibukota ke­ra­ja­an di mana raja bersemayam terletak di Chan-pi. Rakyatnya berdiam di rakit-rakit yang ditambatkan di tepian sungai, sedangkan para pembesar kerajaan berdiam di darat­an. Atap rumah tinggal di rakit-rakit dibuat dari ilalang.
Kita mempunyai dua nama untuk menyebut kerajaan di Sumatra yang keduanya mengacu kepada nama Śrīwijaya. Kedua nama itu adalah Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi. Nama Shih-li-fo-shih dikenal oleh para pakar sejarah dan arkeologi sebagai nama dari Kadātuan Śrīwijaya sebe­lum abad ke-9 Masehi dengan pusatnya di Palembang. Setelah Śrīwijaya memin­dahkan ibukotanya ke Jambi, penyebutannya berubah menjadi San-fo-tsi. Masalahnya, bagai­mana halnya dengan Mālayu. Untuk nama kera­jaan ini Berita Tionghoa telah menyebutkannya dengan nama Mo-lo-yeu, seperti yang diberitakan oleh I-tsing. Antara Mālayu dan Śrīwijaya agak­nya terjadi persaingan, dimana kerajaan yang terlebih dahulu ada adalah Mālayu, yaitu pada tahun 644-645 Masehi. Keber­adaan  kerajaan ini sudah diakui dengan diterimanya utusan ke Tiongkok.
Masa pendudukan Śrīwijaya agaknya berlangsung cukup lama, mulai dari abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi. Tetapi selama masa itu, ada juga masa di mana Śrīwijaya agak “lengah”. Kesempatan itu diguna­kan untuk mengirimkan duta ke Tiongkok. Berdasarkan catatan Tiongkok, Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 853 dan 871 Masehi. Namun tindakan ini segera diketahui Śrīwijaya. Oleh sebab itulah, maka pada tahun 905 Masehi raja Śrīwijaya mengirim­kan duta ke Tiongkok dan menegaskan bahwa duta yang datang pada tahun 853 dan 871 Masehi adalah “pemimpin dari Chan-pi”.
Kronik Istana Kerajaan Pagan dari abad ke-12 Masehi menyebut­kan adanya hubungan bilateral antara Kera­jaan Pagan dengan Kerajaan Mālayu. Raja Pagan mengi­rim pendeta Buddha untuk menterjemahkan naskah-naskah agama Buddha atas perintah raja Mālayu. Pendeta ini kemudian mengawini putri raja dan tinggal di istana Mālayu.
Di antara Kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya selalu terjadi persaingan dan satu sama lain saling mendominasi. Suatu saat, ketika Śrīwijaya lengah, Mālayu bangkit kem­­­bali dengan mengi­rim­kan utusannya ke Tiongkok. Misalnya pada sekitar per­tengahan abad ke-11 Masehi, ketika Śrīwijaya lemah sebagai akibat dari serangan Cōla, Mālayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang dite­mukan di Srilanka menyebut­kan, bahwa pada masa pemerintahan Vijaya­bahu di Sri­lanka (1055-1100 Masehi), Pangeran Suryanarayana di Malaya­pura (Mālayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Swarnnapura (Sumatra). Kronik Tiongkok, Ling-wai-tai-ta, menye­but­kan bahwa pada tahun 1079, 1082 dan 1088, negeri Chan-pi di San-fo-tsi mengirimkan utusan ke negeri Tiongkok.
Mālayu merupakan sebuah kerajaan yang dianggap penting. Eksis­tensi kerajaan ini selalu diakui oleh berbagai kerajaan. Sebuah kerajaan besar di Nusantara akan selalu mem­perhitungkan keberadaan kerajaan Mālayu, seperti misalnya Śrīwijaya dan Maja­pahit. 
Dalam Kakawin Nāgarakŗtāgama Pupuh XIII:1 dan 2 disebutkan:
1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Mālayu: Jāmbi dan Palembaη, Karitań, Teba, dan Dharmaś­raya pun juga ikut disebut, Kaņdis, Kahwas, Manańkabwa, Siyak, Ŗkān, Kāmpar dan Pane, Kāmpe, Harw, dan Maņ­dahiliń juga, Tumihaη, Parlāk dan Barat.
2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampuη dan Barus. Itulah terutama negara-negara Mālayu yang telah tunduk.
Kakawin Nāgarakŗtāgama menyebutkan Mālayu sebagai nama suatu daerah yang identik dengan Swarnadwipa atau Sumatera. Wilayah kekuasaan kera­jaan ini meliputi seluruh daratan Sumatra, dari ujung baratlaut hingga ujung tenggara. Beberapa daerah yang merupakan teritori Majapahit di Melayu seperti misal­nya Jāmbi, Dharmaśraya, Kaņdis, dan Manańkabwa berlokasi di daerah Sungai Batanghari. Karena disebutkan yang pertama, agaknya Jambi merupakan tempat yang penting. Pada waktu itu mungkin meru­pakan sebuah bandar penting dan bekas ibukota kerajaan. Pada masa Majapahit, ibukota Kerajaan Mālayu sudah berlokasi di Dharmaśraya  yang lokasinya di hulu Batanghari.
Setelah lepas dari Śrīwijaya, Mālayu atau Jambi tetap diperhi­tungkan seba­gai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting. Pada waktu Mālayu sudah merdeka, Kerajaan Sińhasāri di Jawa sedang ber­selisih dengan Mongol di daratan Tiongkok. Bahkan Sińhasāri sedang meng­hadapi ancaman penyerbuan tentara Mongol. Untuk tidak mem­per­banyak musuh, Sińhasāri dengan rajanya Kŗtanagara berkeinginan menjalin per­sa­habatan dengan Mālayu. Besarnya perhatian Kŗtanagara kepada Mālayu mem­buk­tikan bahwa pada abad ke-13 Masehi Kerajaan Mālayu merupakan negara utama di Sumatra. Untuk itulah, maka pada tahun 1275 Sińhasāri meng­adakan ekspedisi pamālayu. Pararaton menye­­butkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasu­kan-pasukan berperang ke tanah Mālayu“.Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamālayu berarti pendudukan atas Mālayu
Berita tertulis yang penting mengenai keberadaan lokasi pusat Mālayu di hulu Batanghari diperoleh dari dua buah prasasti, yaitu Prasasti Dharmaśraya yang ber­angka tahun 1286 Masehi dan Prasasti Amoghapāśa yang berangka tahun 1347 Masehi. Selain itu ada prasasti-prasasti lain yang ditemukan di daerah pedalaman Sumatra Barat (Pagar­ruyung dan Batusangkar).
Prasasti Dharmaśraya menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Masehi sebuah arca Amoghapāśa dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhūmijawa ke Swarnnabhūmi untuk ditem­patkan di Dharmaśraya sebagai punya Śrī Wiswarupaku­mara. Peja­bat tinggi kera­jaan yang diperintahkan oleh Śrī Mahārājā­dhirāja Kŗtanagara untuk mengi­ring­kan arca tersebut ialah Rakryān Mahāmantri Dyah Adwaya­brāhma, Rakryān Sirīkan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payāńan Haŋ Dīpangkaradāsa, dan Rakryān Dmuŋ Pu Wīra. Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah Śrīmat Tribhuwana­rāja Mauliwarm­madewa.
Isi prasasti tersebut jelas memberikan informasi kepada kita bahwa penguasa Mālayu pada waktu itu adalah Śrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa, dan berke­dudukan di Dharmaśraya. Lokasi Dharmaśraya  ini ada di sekitar daerah Sawahlunto-Sijunjung di Kampung Ram­bahan, tempat di mana prasasti ini ditemukan pada sekitar tahun 1880-an. Di sekitar daerah ini ditemukan juga beberapa kelompok bangunan candi yang terdapat di beberapa lokasi, yaitu Padanglawas, Padangroco, Pulau Sawah, Siguntur, Bukik Awang Maombiak, dan Rambahan.
Ekspedisi Pamālayu oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan atau penguasaan atas Mālayu. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya tidak ada petunjuk pendu­dukan Sińhasāri atas Mālayu, seperti tercantum dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya Śrīmat Tribhūwa­na­rāja Mauliwarmmadewa.” Arca Amoghapāśa yang dikirimkan oleh Kŗtanagara ditemukan kembali di Rambahan yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmaśraya yang dipahatkan pada bagian lapik arca, arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan ternyata merupakan pasangannya.
Arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an memberikan pentunjuk bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di daerah Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman, upacara yang bercorak tantrik, pembuatan se­buah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapāśa yang dikirim oleh Kŗtanagara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana ber­anggapan bahwa pada tahun 1347 merupakan tahun awal pemerin­tahan Āditya­warm­man di Mālayu. 
Prasasti lain yang jelas-jelas menyebutkan perpindahan pusat pemerin­tahan adalah Prasasti Gudam. Berdasarkan informasi dari prasasti ini, de Casparis menduga bahwa yang me­min­dahkan pusat kekuasaan ke daerah Batusangkar adalah Akarendra­warman, raja Mālayu pen­dahulu Ādityawarmman. Pada sekitar tahun 1340-an, di daerah Batu­sangkar dan Pagarruyung memerintah seorang raja yang ber­nama Ādityawarmman. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah terse­but, misal­nya Prasasti Kuburajo I dikatakan bahwa Ādityawarmman memerintah di kaņakamedi­nīndra (=raja pulau emas) Pada tahun 1347, berdasarkan isi Prasasti Amoghapāśa Ādityawarmman mengangkat dirinya menjadi seorang mahārājādhirāja dengan gelar Śrī Udayādityawarmman atau Ādityawar­modaya Pratāpaparākramarājen­dra Mauliwarmadewa.
Berdasarkan data prasasti dan pertanggalan situs di daerah Batanghari, Keraja­an Mālayu sekurang-kurangnya telah mengalami tiga kali pemindahan pusat pemerin­tah­an. Pusat­nya yang pertama berlokasi di sekitar kota Jambi sekarang, pusat yang kedua di daerah Padangroco, dan pusat yang ketiga di daerah Pagarruyung. Para sarjana menduga bahwa pemindahan pusat pemerintahan ini disebabkan karena ancaman dari musuh, terutama musuh yang datang dari Jawa melalui Sungai Batanghari. De Casparis menduga bahwa Mālayu pada masa akhir mendapat ancaman dari kerajaan yang bercorak Islam di Samudra Pasai yang juga datang melalui Batanghari. Unsur ancaman dari negara tetangga memang ada, tetapi dalam hal ini saya lebih condong untuk menyatakan bahwa alasan pemin­dahan pusat pemerin­tahan itu adalah untuk penguasaan sumber emas yang banyak terdapat di daerah pedalaman. Di samping itu, secara geografis daerah pedalaman di Batusangkar dan Pagarruyung dekat dengan jalan air yang lain, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Jika diban­dingkan dengan Sungai Batanghari, muara kedua sungai ini lebih dekat dengan Selat Melaka. Emas dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Mālayu  melalui sungai-sungai ini.
Mengenai perpindahan pusat kerajaan ini, atau setidak-tidaknya perpin­dah­an permu­kiman tampak dari pertanggalan situs, Berita Tionghoa dan berita prasasti. Situs-situs arkeologi yang ditemukan di daerah Batang­hari, mulai dari daerah hilir sampai ke daerah hulu menun­jukkan suatu pertanggalan yang berbeda. Situs di daerah hilir menunjukkan pertang­galan yang tua, seperti misalnya situs Koto Kandis berasal dari sekitar abad ke-8-13 Masehi dan Muara Jambi berasal dari sekitar abad ke-8-13 Masehi. Di daerah hulu Batanghari menunjukkan pertanggalan yang lebih muda, yaitu dari sekitar abad ke-13-14 Masehi. Berita Tionghoa Ling piao lu i (889-904 Masehi) menyebutkan Pi-chan (=Jambi) mengirim misi dagang ke Tiongkok, sedangkan Kitab Sejarah Dinasti Song (960-1279 Masehi) Buku 489 menyebutkan raja tinggal di Chan-pi (=Jambi). Apabila data per­tanggalan situs dan data Berita Tionghoa dikorelasikan, maka akan tampak keselaras­an­nya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aktivitas Kera­jaan Mālayu pada masa awalnya (sebelum Śrīwijaya abad ke-7 Masehi) berlokasi di daerah hilir Batanghari dengan pusatnya di sekitar kota Jambi sekarang.
Situs Muara Jambi yang merupakan suatu kompleks percandian, dibangun dalam be­berapa tahap, misalnya Candi Gumpung dibangun setidak-tidaknya dalam dua tahap pembangun­an. Berdasarkan temuan lempengan emas yang bertulisan yang ditemu­kan di dalam sumuran candi Gumpung, menurut paleografinya berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Tetapi langgam arca Prajñaparamita yang ditemu­kan di antara runtuhan candi Gumpung, berasal dari abad ke-13-14 Masehi. Berdasarkan per­tanggalan relatif dari paleografi, gaya seni arca, dan gaya seni bangunan Sulaiman menduga bahwa kompleks percandian Muara Jambi sudah ada sebelum kedatangan pengaruh Sińhasāri. Lagipula, ada seorang guru yang bernama Atiśa dari India yang belajar di Malayagiri antara tahun 1011-1023 Masehi. Mungkin ia berkunjung ke Muara Jambi pada waktu datang ke Malayagiri.
Jambi dengan kompleks percandiannya di Muara Jambi mungkin merupa­kan tempat yang strategis. Daerah ini merupakan daerah Kerajaan Mālayu yang pada waktu Śrīwijaya sedang kuat berada di bawah ke­kua­saan Śrīwijaya. Waktu itu Śrīwijaya merupakan sebuah Talasocracy, sebuah kerajaan yang merupakan him­punan dari bandar-bandar. Setelah Śrīwijaya lemah, Kŗtanāgara memandang perlu menjalin persahabatan dengan Mālayu karena adanya ancaman dari Tiongkok. Untuk itulah pada tahun 1275 Masehi dikirim ekspedisi Pamālayu. Untuk lebih mempererat persahabatan dengan Mālayu, pada tahun 1286 Masehi Kŗtanāgara mengirimkan arca Amoghapāśa.
Mengenai perpindahan pusat kerajaan dari daerah hilir ke daerah hulu Batanghari hingga kini belum ditemukan sumber tertulisnya. Secara ekonomis, daerah hilir Batanghari (Jambi) lebih menguntungkan jika di­ban­dingkan dengan daerah hulu (Sumatra Barat). Di daerah hilir, sungai Batanghari dapat dilayari dengan perahu-perahu ukuran besar, se­dangkan di daerah hulu tidak. Dasar sungai dangkal dan berbatu-batu. Sungai Batanghari di daerah hulu hanya dapat dilayari dengan sampan. Tetapi, di­tinjau dari segi keamanan, daerah pedalaman lebih menguntungkan karena daerah ini tidak mudah dijangkau dengan menggu­nakan perahu besar.
Perpindahan pusat kerajaan ke daerah hulu, mungkin disebabkan karena alasan keamanan. Selain itu penguasa pada waktu itu memandang perlu pengawasan terhadap sumber alam tambang emas. Daerah peda­laman, terutama di daerah Sumatra Barat (hulu Batanghari), sejak dulu merupakan sumber emas. Sumber emas inilah kemudian dikelola oleh penguasa Mālayu dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan kerajaan.
Perkembangan Kerajaan Mālayu mencapai puncaknya pada masa pemerin­tahan Āditya­warman dengan pusatnya di daerah hulu Batanghari. Pada masa itu logam emas dimanfaatkan semaksimal mungkin, seperti dipakai sebagai bahan lempengan emas, benang emas, lembaran emas ber­tulis, kalung, dan arca. Meski­pun pusat kerajaan ber­lokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Minangkabau, Ādityawar­man tidak pernah menyebut daerah ke­kuasaannya sebagai Kerajaan Minang­kabau seperti dikemukakan oleh Moens. Ia mena­makan dirinya sebagai Kanakamedi­nīndra yang berarti 'penguasa negeri emas atau Swarnna­dwīpa, Sumatra, Swarnna­bhūmi. Dengan demikian ia meng­anggap pula dirinya sebagai pengua­sa daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah kekuasaan Śrīwijaya.
Dengan pindahnya pusat kerajaan ke hulu Batanghari, ini tidak berarti daerah hilir diabaikan. Jambi sebagai bekas pusat kerajaan tetap berkembang sebagai sebuah pelabuhan yang penting. Melalui pelabuhan Jambi barang-barang komoditi dari daerah pedalaman dipasarkan ke daerah lain. Pada abad ke-12-14 Masehi, Jambi merupakan salah satu dari tiga bandar penting di Sumatra bagian timur. Dua buah lagi adalah Kota Cina di wilayah Sumatra Utara dan Palembang di wilayah Sumatra Selatan.
Tinggalan budaya masa lampau dari situs-situs di daerah hilir Batanghari sebagian besar berupa keramik. Barang ini diketahui sebagai barang import dari Tiongkok. Di Situs Koto Kandis, Situs Suakkandis, dan Situs Muara Jambi temuan yang paling dominan adalah keramik Tiongkok dari masa Dinasti Song-Yuan (abad ke-12-14 Masehi). Dengan ditemukan­nya barang-barang tersebut, kita memperoleh bukti bahwa pada masa lampau hilir Batanghari (Jambi) memegang peranan penting dalam perdagangan internasional. Para pedagang dari daerah lain datang ke Jambi membawa barang dagangan untuk ditukar dengan hasil setempat. Dari Tiongkok para pedagang membawa keramik dan kain sutera. Kembalinya ke Tiongkok mereka membawa damar dan kapur barus.

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN SITUS PERCANDIAN MUARAJAMBI

Pelestarian Situs Percandian Muarajambi sejak tahun 1990 hingga sekarang ditangani oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi sebagai Unit Pelaksana Teknis, Direktorat Peninggalan Purbakala, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi mempunyai wilayah kerja Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Dalam hal ini benda cagar budaya yang ditangani di wilayah empat provinsi cukup beragam, misalnya untuk di wilayah Sumatera Selatan penangan benda cagar budaya cukup beragam mulai dari tinggalan prasejarah di dataran tinggi Paseman (Lahat dan Pagar Alam), Tinggalan masa klasik hindu-buddha di Percandian Bumiayu serta tinggalan Kerajaan Sriwijaya di Kota Palembang, juga dari masa Islam dan Kesultanan Palembang hingga masa penjajahan Belanda dan Jepang. Untuk di wilayah Provinsi Bengkulu tinggalan budaya yang ditangani lebih didominasi dari masa kolonialisme Inggris dan Belanda, seperti keberadaan Benteng Marlborough dan bangunan-bangunan masa kolonial lainnya. Di wilayah kerja Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disamping kekayaan benda cagar budaya dari masa kolonialisme dan sejarah pertambangan timah, tidak kalah pentingnya berupa tinggalan bawah air yang ada di perairan kepualauan ini. Di wilayah Provinsi Jambi sendiri pelestarian benda cagar budaya juga cukup beragam dari masa prasejarah, masa klasik hindhu-buddha, masa Islam hingga dari kolonialisme.
Khusus pelestarian dan pengembangan Situs Percandian Muarajambi yang telah dan sedang dilakukan BP3 Jambi, yaitu :
a.      Identifkasi Luas Situs
Hasil pendokumentasian dan perekaman data menunjukkan luas situs Percandian Muarajambi lebih kurang 2062 hektar, sedangkan data terbaru luas 2615 hektar dengan bentang lahan berbentuk linier timur-barat mengikuti alur tepian Sungai Batanghari sepanjang 7,5 kilometer. Batas-batas situs sebagian dinyatakan secara jelas dengan keberadaan kanal-kanal kuno, baik buatan maupun sungai alam yang mengelilingi kawasan situs dan berhubungan dengan Sungai Batanghari.  Sampai saat ini sedikitnya terdapat 82 menapo (reruntuhan bangunan kuno), sebagian besar merupakan reruntuhan bangunan candi dan sisa pemukiman kuno. Tinggalan benda cagar budaya sebagian besar masih tertutup tanah dan berada di lahan kebun rakyat.

b.      Pelestarian
Pendokumentasian dan Publikasi
Kegiatan pendokumentasian tinggalan benda cagar budaya di Situs Percandian Muarajambi terus dilakukan, baik mencakup registrasi maupun merekam benda cagar budaya dalam bentuk data tekstual, pictural, maupun audio visual. Di bidang publikasi antara lain melalui pameran kepurbakalaan, kemah budaya, penerbitan buletin/majalah, Web Site, field school dengan melibatkan siswa sekolah. Tujuan publikasi sendiri adalah untuk memberikan informasi kepurbakalaan sebagai bagian dari pembangunan kebudayaan dalam rangka pembentukan karakter masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pemugaran
Pemugaran bangunan kuno yang telah dilaksanakan BP3 Jambi di empat wilayah kerja, yaitu di Sumatera Selatan khususnya di Percandian Bumi Ayu, Kepulauan Bangka Belitung pemugaran Rumah Pengasingan Bung Karno, Bengkulu pemugaran Benteng Marborough. Untuk di Provinsi Jambi antara lain Masjid Kuno di Kerinci, sedangkan di Percandian Muarajambi telah dipugar sebanyak 7 buah kompleks Bangunan Candi.
Kompleks bangunan candi Muarajambi yang telah dipugar, yaitu Candi Astano, Candi Kembar Batu, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Gumpung, Candi Gedong I dan Candi Gedong II. Selanjutnya pada saat ini yang sedang dalam proses pemugaran adalah Candi Kedaton. Selebihnya masih dalam tahap penelitian pelestarian dan studi teknis persiapan pemugaran.
  
Pemeliharaan
Pemeliharaan benda cagar budaya mencakup kebersihan dan keindahan lokasi bcb, perawatan dan konservasi bcb dari kerusakan atau pengaruh alam dan aktivitas manusia.Untuk pemeliharaan bangunan candi di Situs Percandian Maurajambi cukup rumit mengingat seluruh bangunan kuno terbuat dari bata yang rentan terhadap pengaruh alam, seperti curah hujan, panas, suhu, kelembaban, maupun pertumbuhan biota yang dapat merusak unsur dan struktur bata. 

Perlindungan
Perlindungan terhadap benda cagar budaya dari sisi legalitas mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Sedangkan perlindungan benda cagar budaya yang disebabkan alam mengacu pada aspek kelestarian benda cagar budaya sebagai sumber daya budaya yang tidak dapat diperbarui.

c. Pengembangan
Pengembangan Situs Percandian Muarajambi dilaksanakan secara sinergi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten, serta masyarakat terutama masyarakat lokal yang tinggal di kawasan Situs Percandian Muarajambi. Pengembangan Situs Percandian Muarajambi secara sinergi diarahkan pada suatu visi menjadikan Situs Percandian Muarajambi sebagai  Warisan Budaya Dunia (World Heritage). Dalam visi tersebut beberapa misi telah dicapai antara lain:1.
  1. Pembuatan  Master Plan Situs Muarajambi Pada Tahun 2006 
  2. Pembuatan DED Wilayah I Percandian Muarajambi tahun 2007 
  3. Normasilisasi jaringan kanal kuno yang dimulai tahun 2007 hingga sekarang. Sampai pada tahun 2008 telah dinormalisasi sepanjang 12 km dari 20 km yang direncanakan. Kanal kuno yang sudah dinomalisasi meliputi Sungai Terusan, Sungai Melayu, dan Sungai Medak, sebagian Sungai Jambi. Normalisasi kanal kuno ini nantinya juga mencakup danau kuno, seperti Danau Kelari dan Danau Serapil. Dua danau kuno ini merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Situs Percandian Muarajambi dan merupakan daya dukung lingkungan hidup masyarakat masyarakat masa lalu sebagai pendukung keberadaan percandian Muarajambi. 
  4. Dalam menjadikan Situs Percandian Muarajambi sebagai World Heritage membutuhkan proses panjang, dan sampai pada saat ini baru pada tahap usulan Tentative List Situs Percandian Muarajambi yang dikerjakan oleh Direktorat Peninggalan Purbakala dan UPT BP3 Jambi, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi. 
  5. Memasukan Kawasan Situs Percandian Muarajambi dalam Rencana Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten, sebagai Kawasan Cagar Budaya.
 Pengembangan  Situs Percandian Muarajambi kini terus diupayakan hingga tercapainya visi yang telah dicanangkan secara bersama, baik oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan masyarakat. 

3. Penutup 
Situs Percandian Muara Jambi diduga telah ada sejak abad ke-8 Masehi. Situs ini merupakan situs keagamaan yang dibangun oleh kelompok masyarakat pemeluk agama Buddha Mahāyāna pada sekitar abad ke-8 Masehi dan terus berlanjut hingga abad ke-14 Masehi. Seiring dengan perpindahan pusat kekuasaan ke Dharmasraya di wilayah Sumatera Barat. Pelestarian dan Pengembangan Situs Percandian Muarajambi kini tetap diupayakan dengan menjaga keaslian nilai-nilai Benda Cagar Budaya sebagai sumber pengetahuan dan kebudayaan.

Sumber: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi
www.purbakalajambi.budpar. go.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar